Tahun 2025 di Indonesia diwarnai toto dengan sebuah tren wisata yang unik dan inovatif: wisata metaverse lokal. Di tengah kemajuan teknologi virtual reality (VR) dan augmented reality (AR) yang semakin canggih, para pengembang lokal berlomba-lomba menciptakan replika digital dari berbagai destinasi wisata ikonik di seluruh Nusantara. Fenomena ini tidak hanya menawarkan cara baru untuk menikmati keindahan Indonesia, tetapi juga memicu perdebatan menarik tentang masa depan pariwisata.
Bayangkan saja, dengan menggunakan VR headset di rumah, kamu bisa “berjalan-jalan” di Candi Borobudur saat matahari terbit, merasakan deburan ombak Pantai Kuta, atau menjelajahi keindahan bawah laut Raja Ampat, semuanya dengan detail yang sangat mirip dengan aslinya. Bahkan, beberapa platform metaverse lokal ini dilengkapi dengan fitur interaktif, memungkinkan pengguna berinteraksi dengan avatar pengguna lain, mengikuti tur virtual yang dipandu oleh local expert, atau bahkan berbelanja produk-produk kerajinan khas daerah tersebut.
Salah satu platform metaverse wisata lokal yang sedang naik daun adalah “NusaVerse.” Dikembangkan oleh startup muda di Bandung, NusaVerse menawarkan pengalaman imersif menjelajahi berbagai destinasi populer seperti Bali, Yogyakarta, dan Labuan Bajo. Mereka menggunakan teknologi pemindaian 3D dan fotogrametri untuk menciptakan replika digital yang akurat, lengkap dengan suara-suara alam dan bahkan aroma virtual melalui perangkat khusus.
Fenomena wisata metaverse lokal ini menjadi viral di berbagai kalangan. Generasi muda yang tech-savvy melihat ini sebagai cara yang menarik dan praktis untuk “healing” tanpa harus mengeluarkan banyak biaya dan waktu untuk perjalanan fisik. Para diaspora Indonesia di luar negeri juga menyambut antusias platform ini sebagai cara untuk mengobati kerinduan akan kampung halaman.
Namun, popularitas wisata metaverse lokal ini juga memunculkan berbagai tanggapan dan perdebatan. Para pelaku industri pariwisata tradisional выражают kekhawatiran tentang potensi penurunan jumlah wisatawan fisik. Mereka berpendapat bahwa pengalaman virtual tidak akan pernah bisa menggantikan sensasi dan interaksi langsung dengan budaya dan alam Indonesia yang sesungguhnya.
Di sisi lain, para pendukung wisata metaverse lokal berargumen bahwa platform ini justru dapat menjadi alat promosi yang efektif untuk pariwisata fisik. Dengan memberikan “preview” yang menarik, metaverse bisa mendorong orang untuk akhirnya mengunjungi destinasi tersebut secara langsung. Selain itu, wisata metaverse juga dianggap lebih inklusif, memungkinkan orang dengan keterbatasan fisik atau finansial untuk tetap bisa menikmati keindahan Indonesia.
Pemerintah Indonesia pun mulai memberikan perhatian pada perkembangan fenomena ini. Beberapa inisiatif sedang digodok untuk mendukung inovasi di sektor wisata metaverse lokal, sambil tetap memastikan keberlangsungan industri pariwisata fisik. Regulasi terkait hak cipta konten digital dan perlindungan data pengguna juga menjadi fokus utama.
Selain NusaVerse, beberapa platform metaverse wisata lokal lainnya juga mulai bermunculan, masing-masing dengan keunikan dan fokusnya sendiri. Ada yang специализируется pada wisata sejarah dan budaya, ada yang menawarkan pengalaman petualangan virtual, dan ada pula yang fokus pada promosi produk-produk UMKM lokal melalui marketplace virtual di dalam metaverse.
Tahun 2025 menjadi saksi dari perpaduan menarik antara tradisi dan teknologi dalam dunia pariwisata Indonesia. Wisata metaverse lokal bukan hanya sekadar tren sesaat, tetapi berpotensi menjadi bagian integral dari cara kita menikmati dan mempromosikan keindahan Nusantara di era digital ini. Meskipun tantangan dan perdebatan masih akan terus berlanjut, satu hal yang pasti: cara kita “berwisata” di Indonesia telah mengalami transformasi yang signifikan, membawa kita menjelajahi keindahan negeri ini tanpa harus selalu beranjak dari kenyamanan rumah kita.